Pukul tujuh ada sebuah paket di
pintu. Baru saja sepotong malam dikirimkan kepadaku. Kurangkul benda itu ke
ruang tamu. Kemudian aku membukanya pelan-pelan, benda itu, yang tidak tertutup
rapat. Banyak sayap-sayap rapuh yang terjatuh bagai remah-remah roti tawar.
Tiada bintang yang bersinar. Tiada meteor yang berkeliaran dan berpencar. Sungguh
gelap. Sungguh, sungguh gelap kiriman itu.
Kutatap
benda itu sepanjang malam. Malam yang temaram. Dingin dan panjang. Seperti
sesosok anak kecil yang ada di sepotong malam itu, meringkuk dan berekspresi muram. Di
sisi-sisinya hanya ditemani lilin-lilin kecil dan seonggok permohonan yang
terus ia lontarkan. Ia hanya sendiri, ditemani lilin-lilin yang bersinar redup
dan sayu. Seperti sinar bulan yang bersinar malu-malu. Bulan
itu menggantung di atas langit, langit kelam dalam sepotong malam itu.
Malam
itu dingin, tubuh anak kecil itu mulai kaku. Kedua matanya melekuk tanda
mengantuk. Dan ia terlihat kehausan. Ia menatap bulan lekat-lekat, sama
sepertiku, seolah sedang mengisap cahayanya.
Hanya
ada aku, sesosok anak kecil, dan sepotong malam itu. Sepotong malam yang gelap.
Dan kalap. Kegelapan itu pun perlahan mulai merembes ke seluruh lantai ruang tamu,
berusaha melahapku. Lalu pikiranku beku. Anak kecil itu, kulihat, berusaha
menyelamatkanku. Ia tak membiarkan sedikit pun kegelapan itu menyentuhku.
Jantungku dengan cepat beriak, aku berteriak. Anak kecil itu membelah waktu,
menyelamatkanku, kemudian kembali memahatnya menjadi satu. Napasku pun melunak
Ia mengangkat
kepalanya, mencari mataku. “Sekarang semua baik-baik saja.” Ucapnya.
“Tidurlah. Sebentar lagi malam akan tenggelam."
Ia merapikan
kakiku yang tadi melangkah gontai ke kasur. “Tenggelam? Tapi aku saja belum…”
“Biar aku saja,”
katanya, langkahnya kecil namun cepat. Sepotong malam itu ia lipat, dan ia
buang entah ke mana. Mataku tak mengikutinya. Tapi kudengar kran air di dapur
menyala dengan deras dan dengan bersusah payah.
Ketika dirinya
yang setinggi satu pertiga pintu itu kembali ke kamarku, langsung saja kuucapkan
terima kasihku. Tetapi dia menolaknya. “Aku yang berterima kasih.”
“Kamu?”
“Iya, aku.”
Kulihat ia
merekatkan kembali sayap-sayap rapuh dan berwarna keruh ke punggungnya. Sudah
banyak yang berlubang, sudah banyak yang hilang. Namun matanya kini memancarkan
sinar yang tenang, sinar yang terang. Ia pun berjalan menuju pintu jendela.
Menoleh dan mengarahkan senyumnya ke arahku.
“Terima kasih. Sekarang
aku bebas.”
Wrote by Suha Azka