Aku akan pergi lagi. Aku pergi selagi bisa. Mumpung tak ada yang mencegahku, aku pergi.
"Jam berapa?" tanyanya dari sudut ruangan, mengamatiku berkemas.
"Apa?"
"Jam berapa kamu pergi?" Dia memperbaiki kalimat tanyanya.
"Oh," sahutku. "Jam 2. Mungkin."
Hening. Aku masih merapikan barang-barangku. Dapat kurasakan matanya mengamati gerak-gerikku--mata yang penuh pertanyaan. Namun dia cukup pengertian untuk tak banyak bertanya padaku. Mungkin karena itu aku suka dia, karena dia penasaran namun tetap pandai menahan diri.
Tak lama kemudian, kudengar suara telepon rumah berdering. Dia berjalan menghampiri arah suara dan mulai berbincang dengan penelepon.
"Dia? Ada. Sebentar." Dia memanggilku. "Ada telepon buat kamu."
Aku menempelkan gagang telepon di telingaku.
"Kamu masih hidup!" Seru suara di seberang telepon.
"Iya, masih. Hahaha."
"Kok nggak bales chat?"
"Oh kamu chat? Aku belum buka. Bentar ya, aku buka." Aku meraih telepon genggamku dan membuka chat dari dia. Sebaiknya ini penting hingga ia meneleponku. Aku membaca....
"Gimana?" Tanyanya. "Kamu bisa nggak?"
"Hari ini?" Tanyaku, agak terkejut meski seharusnya aku sudah terbiasa dengannya yang sering membuat rencana mendadak.
"Iya, bisa nggak? Bisa please."
"Aku..nggak bisa."
"Kenapa?"
"Aku... hari ini aku pergi."
"Pergi ke mana tuh?"
"Well, ke suatu tempat pokoknya hehe."
"Gimana kalau sabtu?"
"Sabtu aku juga nggak bisa"
"Minggu?"
"Aku nggak bisa.."
"Ih sombong banget." Dia berkata dengan nada kecewa. "Sekarang kamu jadi susah diajak ketemu."
Aku diam karena dia benar.
"Yaudah ya, aku tutup." Kata dia lagi setelah tak mendengar respons apapun dariku. "Makasih udah angkat telepon."
"Maaf ya," kataku, tapi dia sudah terlanjur menutup teleponnya.
Aku kembali berkemas. Tentunya dengan perasaan sedih karena sudah mengecewakan orang lain. Kurasa terlalu banyak yang mengecewakanku dan yang kecewa padaku. Akankah siklus ini berhenti?
Dia datang dari arah dapur, membawa segelas air lemon. Sepertinya airnya hangat. Dia mengulurkannya padaku. "Kamu masih batuk kan?"
"Iya.." tiba-tiba aku ingin meneteskan air mata. Mengapa aku terharu pada kebaikan yang sederhana? "Makasih loh."
Lalu kuteguk air itu.
"Kamu...bakal balik lagi?" Tanyanya, terdengar hati-hati. Aku duduk di sebelahnya. Aku duduk, seperti ingin merasakan kehadirannya lebih lama.
"Apa boleh kalo aku nggak balik lagi?"
Dia diam.
"Nggak balik lagi.. berarti kamu kabur?"
"Apa aku nggak boleh kabur?"
Dia diam, seperti tidak ingin menanggapiku. Tapi semenit kemudian bersuara lagi. "Terserah" katanya. "Tapi aku..agak keberatan."
"Kamu?" Aku bingung. Kenapa orang keberatan aku pergi padahal sejauh ini aku tidak sepenuhnya hadir? Aneh.
"Kenapa kayak kaget gitu?" Dia mulai menoleh padaku sejak sedaritadi menatap tanah. "We miss you, you know."
"I'm sorry," me too. I miss me too.
Aku pun bangkit. Aku mengoleskan sunscreen ke wajah dan tanganku senan di luar matahari sedang terik sekali. Namun aku tidak sabar untuk keluar. Kukenakan tasku. Kemudian aku menepuk bahunya pelan. "Aku pamit, ya?"
Matanya menatapku lekat-lekat, seolah menahanku pergi. "Oke." Katanya, membetulkan resleting tasku yang agak terbuka. "Hati-hati."
"Iya," aku melangkah keluar pintu.
"Kalau bisa balik, balik.."
"Iya." Kataku lagi. "Kalau nggak?"
"Aku tunggu."
Aku tersenyum. Dia menatap ke kejauhan. "Udah sana"
"Iya, dadah"
"Dadah, hati-hati"
"Iya"
Wrote by Suha Azka